Senin, 22 November 2010

HUBUNGAN PENYAKIT DENGAN FAKTOR PERILAKU DAN SOSIAL-BUDAYA STUDI KASUS HIV/AIDS DI PAPUA DAN DIFTERI DI SUMENEP

BAB I
PENDAHULUAN

Timbulnya suatu penyakit dalam masyarakat tidak serta merta karena penyakit tersebut muncul begitu saja. Apalagi bila sebelumnya penyakit tersebut tidak pernah ditemukan pada masyarakat pendahulunya. Tentu ada faktor penyebab munculnya penyakit tersebut selain faktor lingkungan yang mendukung penyebaran penyakit tersebut.
Diantara penyebab-penyebab timbulnya suatu penyakit selain faktor lingkungan adalah faktor perilaku dan sosial-budaya masyarakat. Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit karena ada sebagian penyakit yang timbul karena pola perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budayanya.
Begitu pula dengan penyebaran penyakit HIV/AIDS di Papua dan penyakit difteri di Sumenep yang semakin meluas dikarenakan ada faktor budaya dan adat-istiadat disamping karena faktor individual masyarakatnya.
Oleh karena itu, dengan mempelajari perilaku masyarakat beserta adat-istiadatnya diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan kesehatan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dan melakukan pengobatan bagi masyarakat yang telah terjangkit.

BAB II
PERMASALAHAN



A. HIV/AIDS di Papua
I. Latar Belakang
Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat epidemi HIV-AIDS di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia lainnya dan salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Hal tersebut tidak terlepas dari lokasi yang terpencil, sulitnya mendapatkan akses pelayanan dan informasi kesehatan, perilaku masyarakat, dan adat serta budayanya.
Penyebaran HIV/AIDS di Papua tidak terlepas dari perilaku masyarakatnya yang sering melakukan hubungan homoseksual dan heteroseksual. Dimana, perilaku seksual seperti itu merupakan salah satu penyebab terbesar terjadinya penyebaran penyakit tersebut. Perilaku menyimpang tersebut sebagian besar dilakukan dalam praktek ritual, adat istiadat, perayaan festival-festival, dan pesta seks antri yang sudah menjadi suatu kebudayaan bagi masyarakat Papua.
Hubungan homoseksual yang sering dilakukan oleh masyarakat Papua tidak hanya dilakukan oleh kaum lelakinya saja tetapi juga oleh kaum wanitanya. Mereka melakukannya atas dasar adat-istiadat yang berlaku dan merupakan suatu praktek ritual terhadap nenek moyang.
Selain itu, perilaku masyarakatnya yang sering mendatangi pekerja seks komersil (PSK) juga turut berpengaruh terhadap tingginya kasus HIV/AIDS di Papua. Mereka sering mendatangi para PSK yang menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan dan tempat-tempat hiburan lainnya.
Dari hasil Studi Kualitatif Perilaku Seks di Papua (Uncen, 2002) mengindikasikan banyak masyarakat Papua yang mempunyai banyak pasangan dan sebagaian besar memulai hubungan seks pada umur yang muda. Sementara hasil survei perilaku pada pegawai negeri di Jayapura pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 32 persen pegawai negeri lelaki di Jayapura membeli seks.

II. Teori Dasar Penyebab dan Penyebaran Penyakit
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. HIV adalah sejenis retrovirus, yaitu virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo dan tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi.
HIV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui kontak seksual, penggunaan jarum dan syringes yang terkontaminasi, transfusi darah atau komponen-komponennya yang terinfeksi; transplantasi dari organ dan jaringan yang terinfeksi HIV. Sementara virus kadang-kadang ditemukan di air liur, air mata, urin dan sekret bronkial, penularan sesudah kontak dengan sekret ini belum pernah dilaporan. Risiko dari penularan HIV melalui hubungan seks lebih rendah dibandingkan dengan Penyakit Menular Seksual lainnya. Namun adanya penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual terutama penyakit seksual dengan luka seperti chancroid, besar kemungkinan dapat menjadi pencetus penularan HIV. Determinan utama dari penularan melalui hubungan seksual adalah pola dan prevalensi dari orang orang dengan “sexual risk behavior” seperti melakukan hubungan seks yang tidak terlindung dengan banyak pasangan seks. Tidak ada bukti epidemiologis atau laboratorium yang menyatakan bahwa gigitan serangga bisa menularkan infeksi HIV, risiko penularan melalui seks oral tidak mudah diteliti, tapi diasumsikan sangat rendah.
AIDS adalah sindroma penyakit yang pertama kali dikenal pada tahun 1981. Sindroma ini menggambarkan tahap klinis akhir dari infeksi HIV. Beberapa minggu hingga beberapa bulan sesudah terinfeksi, sebagian orang akan mengalami penyakit “self-limited mononucleosis-like” akut yang akan berlangsung selama 1 atau 2 minggu. Orang yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda atau gejala selama beberapa bulan atau tahun sebelum manifestasi klinis lain muncul. Berat ringannya infeksi ”opportunistic” atau munculnya kanker setelah terinfeksi HIV, secara umum terkait langsung dengan derajat kerusakan sistem kekebalan yang diakibatkannya. Definisi AIDS yang dikembangkan oleh CDC Atlanta tahun 1982 memasukkan lebih dari selusin infeksi “opportunistics” dan beberapa jenis kanker sebagai indikator spesifik akibat dari menurunnya kekebalan tubuh.

B. KLB Penyakit Difteri di Sumenep
I. Latar Belakang
Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri. Namun demikian dinas kesehatan setempat mengalami kesulitan untuk mendeteksi dan memberikan pengobatan kepada masyarakat yang mengidap difteri di kabupaten tersebut.
Dari hasil penelitian terhadap pasien, diketahui bahwa difteri diakibatkan oleh bakteri mematikan yang menyerang anak-anak, karena rata-rata bayi yang tidak diimunisasi lengkap. Tanda-tandanya yakni tubuh demam dan terjadi suhu yang panas pada tubuhnya. Lambat laun, tiba-tiba pasien mengalami penyumbatan dan pembengkakan saluran pernafasan atas dan menyerang jantung.
Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit tersebut, Dinas Kesehatan setempat telah melakukan sweeping untuk memberikan pengobatan melalui vaksinasi, namun penderita cenderung menutup diri. Selain itu masyarakat juga menganggap remeh penyakit tersebut. Padahal penyakit difteri sangat berbahaya, selain termasuk penyakit yang menular, juga merupakan penyakit yang mematikan.
Menurut salah satu anggota dinas kesehatan setempat, jumlah penderita penyakit defteri akan terus bertambah, jika masyarakat sulit untuk mendapatkan pengobatan vaksinasi. Oleh karena itu sebagai langkah awal, dinas kesehatan melakukan pendataan kepada masyarakat yang menderita penyakit tersebut dengan melibatkan pihak Puskesmas di masing-masing Kecamatan.

II. Teori Dasar Penyebab dan Penyebaran Penyakit
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri disebakan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau intermedius. Bakteri ini membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif.
Kematian yang terjadi pada penderita umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsitoxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsitoxin lainnya, "A" fragment ke dalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terpapar dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit (cuffing). Sedangkan kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu saraf sensork dan saraf motorik.
Difteri terjadi setelah periode masa inkubasi yang pendek yaitu 2-4 hari, dengan jarak antara 1-5 hari. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah :
• Nasaldiphtheria
• Tonsillar (faucial) diphtheria
• Pharyngeal diphtheria
• Laryngeal atau laryngotracheal diphtheria dan
• Nonrespiratory diphtheria.
Cara penularannya adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier, jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.



BAB III
PEMBAHASAN


I. HIV/AIDS di Papua
Meluasnya kasus HIV/AIDS di Papua sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual masyarakatnya yang sering melakukan seks bebas dan berganti-ganti pasangan seks. Perilaku tersebut tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu masing-masing tetapi juga berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang telah lama berkembang.
Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2006, sebagian besar masyarakat Papua telah mengetahui bahwa salah satu penyebab penularan HIV adalah hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Ada 46,4 persen penduduk yang tahu bahwa dengan berganti-ganti pasangan akan mudah tertular HIV.
Namun permasalahannya adalah meskipun sebagian besar masyarakatnya telah mengetahui hal tersebut, mereka tetap melakukannya. Bahkan sebagian besar pelakunya adalah para remaja baik di daerah terpencil maupun perkotaan. Mereka berdalih bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan telah menjadi budaya sejak lama. Padahal sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa penyebab terbesar terjadinya penyebaran HIV/AIDS adalah melalui kontak seksual baik melalui anal maupun oral.
Menurut H.L. Bloom, salah satu faktor penentu status kesehatan seseorang selain tersedianya pelayanan kesehatan dan keturunan (genetika) adalah faktor perilaku individu maupun masyarakat dan faktor lingkungan termasuk didalamnya lingkungan fisik (alam) maupun lingkungan social (adat-istiadat, budaya, kebiasaan, dan sebagainya).
Dari kasus HIV/AIDS yang terjadi di Papua terdapat kecenderungan bahwa faktor perilaku dan social-budaya merupakan faktor utama terjadinya penyebaran penyakit tersebut. Namun demikian, perilaku seks bebas tersebut tidak serta merta berdiri sendiri tanpa adanya factor lain yang mendukung pola perilaku tersebut. Bila dipelajari lebih lanjut pola perilaku seks bebas tersebut diawali dengan adanya budaya dan adat-istiadat yang mendorong terjadinya pola perilaku seperti itu.
Budaya seks bebas yang dilakukan setiap diadakannya pesta adat membentuk pola perilaku seks bebas sebagai suatu hal yang wajar di dalam masyarakat Papua. Sudah merupakan hal yang lazim bagi mereka untuk melakukan seks bebas, bahkan ada suatu budaya dimana setiap perempuan Papua yang akan menikah harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan 10 orang laki-laki yang berasal dari keluarga mempelai laki-lakinya dengan tujuan untuk meningkatkan kesuburan. Padahal perilaku seks dengan berganti-ganti pasangan seperti itu dan tanpa menggunakan kondom dapat meningkatkan resiko penyebaran HIV/AIDS dibandingkan dengan melakukan seks dengan pasangan tetap.
Virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh melalui cairan yang dihasilkan oleh alat kelamin dan masuk melalui luka yang terjadi saat melakukan hubungan seks tanpa pengaman baik yang dilakukan bersama pasangan tetap maupun dengan berganti-ganti pasangan. Kemudian virus tersebut akan merusak sistem kekebalan tubuh penderitanya dengan masa inkubasi selama selama 1-3 bulan. Virus tersebut akan menular ke orang lain ketika berhubungan seks tanpa pengaman dengan si penderita. Lalu virus tersebut akan semakin berkembang menjadi AIDS setelah 10 tahun dan akan menyebabkan kematian bagi penderitanya.
Demikianlah faktor-faktor dan penyebab tingginya penyebaran HIV/AIDS di Papua. Penting diketahui bahwa munculnya suatu perilaku tidak selalu karena terbentuk begitu saja, lebih dari itu ada faktor lain berupa kebudayaan, lingkungan sosial, dan lingkungan fisik yang dapat menjadi faktor pendukung maupun pencetus munculnya suatu perilaku.

II. Difteri di Sumenep
Terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit difteri di Kabupaten Sumenep tidak muncul begitu saja. Selain karena adanya faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran penyakit, terdapat faktor lain yaitu faktor perilaku individu dan sosial-budaya masyarakat setempat.
Masyarakat di Kabupaten Sumenep kurang sadar terhadap pentingnya imunisasi bagi bayi. Sehingga banyak masyarakatnya yang tidak mengimunisasi bayi secara lengkap padahal imunisasi yang lengkap sangat penting bagi bayi untuk memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit. Dengan kurangnya daya imun tubuh bayi, semakin cepat dan mudah ia terserang penyakit. Sehingga sebagaimana diketahui sebagian besar penderita penyakit difteri di daerah tersebut adalah anak-anak dan balita.
Perilaku anak-anak dan masyarakat di daerah tersebut yang kurang menjaga kebersihan diri mereka dan kurang menjaga kesehatan juga turut andil dalam penyebaran penyakit difteri. Mereka jarang mencuci tangan sebelum makan, tidak menjaga kebersihan rumah dan lingkungan dan sebaginya. Tangan yang kotor merupakan sarana yang baik bagi penyebaran suatu penyakit, apalagi bila masyarakat tidak mencuci tangan setelah terjadi kontak dengan seseorang tanpa mengetahui bahwa orang tersebut terjangkit difteri.
Kebiasaan tidak menggunakan masker saat sakit dan tetap melakukan aktifitas setelah mendapat gejala awal penyakit turut memperparah keadaan kesehatan mereka bahkan menularkannya pada yang lain. Padahal penyakit difteri merupakan penyakit yang meyerang system pernapasan. Itulah sebabnya mengapa perilaku tersebut dapat menjadi salah satu penyebab meluasnya penyakit tersebut.
Selain itu kebiasaan masyarakat yang mendahulukan tabib untuk mengobati penyakit sehingga terlambat melakukan tindakan medis dan keadaan sosial yang dipengaruhi faktor ekonomi menjadikan masyarakat desa takut untuk berobat ke dokter sehingga membuat penyebaran penyakit difteri semakin meluas. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi karena difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteria yang menyerang saluran pernapasan sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas dan membuat penderitanya sulit bernapas bahkan meninggal. Penangan penyakit ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena tidak semua orang tahu bagaimana cara penangannya. Kepercayaan untuk berobat kepada tabib atau dukun yang sudah menjadi suatu kepercayaan bagi masyarakat hanya akan memperparah kondisi si penderita karena tabib atau dukun tidak memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit-penyakit infeksi. Oleh karena itu penangan kasus difteri harus dilakukan oleh orang yang tepat dan dengan cara yang tepat yaitu dalam hal ini adalah tenaga medis.


BAB IV
PENUTUP



I. KESIMPULAN
Penyebab timbulnya suatu penyakit selain karena faktor lingkungan adalah karena faktor perilaku dan sosial-budaya masyarakat. Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit karena ada sebagian penyakit yang timbul karena pola perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budayanya.
Meluasnya kasus HIV/AIDS di Papua sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual masyarakatnya yang sering melakukan seks bebas dan berganti-ganti pasangan seks. Perilaku tersebut tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu masing-masing tetapi juga berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang telah lama berkembang.
Terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit difteri di Kabupaten Sumenep tidak muncul begitu saja. Selain karena adanya faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran penyakit, terdapat faktor lain yaitu faktor perilaku individu dan sosial-budaya masyarakat setempat.
Munculnya suatu perilaku tidak selalu karena terbentuk begitu saja, lebih dari itu ada faktor lain berupa kebudayaan, lingkungan sosial, dan lingkungan fisik yang dapat menjadi faktor pendukung maupun pencetus munculnya suatu perilaku.

II. DAFTAR PUSTAKA
Irmanigrum, Yeane et al. 2007. Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006. Jakarta : Departemen Kesehatan dan Biro Pusat Statistik.
Swann, Ken. 2004. Media dan HIV/AIDS. Family Health International East Timor.
Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi ke-17. American Public Health Association.
P.L, Chairuddin. 2009. Diphteria (Difteri). Medan : Universitas Sumatera Utara
Savari, Harisandi. 2010. Tiga Balita Meninggal, Difteri Serang 7 Kecamatan di Sumenep. http://m.beritajatim.com, diunduh pada tanggal 22 November 2010

1 komentar:

  1. Obat herbal Dr. Imoloa yang luar biasa adalah obat penyembuhan yang sempurna untuk Virus HIV, saya mendiagnosis HIV selama 8 tahun, dan setiap hari saya selalu mencari penelitian untuk mencari cara sempurna untuk menghilangkan penyakit mengerikan ini karena saya selalu tahu bahwa yang kita butuhkan karena kesehatan kita ada di bumi. Jadi, pada pencarian saya di internet saya melihat beberapa kesaksian berbeda tentang bagaimana Dr. imoloa dapat menyembuhkan HIV dengan obat herbal yang kuat. Saya memutuskan untuk menghubungi pria ini, saya menghubunginya untuk obat herbal yang saya terima melalui layanan kurir DHL. Dan dia membimbing saya bagaimana caranya. Saya memintanya untuk solusi minum obat herbal selama dua minggu. dan kemudian dia menginstruksikan saya untuk pergi memeriksa yang saya lakukan. lihatlah aku (HIV NEGATIF). Terima kasih Tuhan untuk dr imoloa telah menggunakan obat herbal yang kuat untuk menyembuhkanku. ia juga memiliki obat untuk penyakit seperti: penyakit parkison, kanker vagina, epilepsi, Gangguan Kecemasan, Penyakit Autoimun, Nyeri Punggung, Keseleo, Gangguan Bipolar, Tumor Otak, Ganas, Bruxisme, Bulimia, Penyakit Disk Serviks, Penyakit Kardiovaskular, Penyakit Kardiovaskular, Neoplasma, kronis penyakit pernapasan, gangguan mental dan perilaku, Cystic Fibrosis, Hipertensi, Diabetes, asma, radang sendi yang dimediasi autoimun. penyakit ginjal kronis, penyakit radang sendi, sakit punggung, impotensi, spektrum alkohol feta, Gangguan Dymyme, Eksim, kanker kulit, TBC, Sindrom Kelelahan Kronis, sembelit, penyakit radang usus, kanker tulang, kanker paru-paru, sariawan, kanker mulut, tubuh nyeri, demam, hepatitis ABC, sifilis, diare, Penyakit Huntington, jerawat punggung, gagal ginjal kronis, penyakit addison, Penyakit Kronis, Penyakit Crohn, Cystic Fibrosis, Fibromyalgia, Penyakit Radang Usus Besar, penyakit kuku jamur, Penyakit Kelumpuhan, penyakit Celia, Limfoma , Depresi Besar, Melanoma Ganas, Mania, Melorheostosis, Penyakit Meniere, Mucopolysaccharidosis, Multiple Sclerosis, Distrofi Otot, Rheumatoid Arthritis, Penyakit Alzheimer, email- drimolaherbalmademedicine@gmail.com / hubungi atau {whatssapp ..... +2347081986098. }

    BalasHapus